Jumat, 16 November 2012

Dengarkan Melodi Rintihan Hati Ini, Walau Sedetik Saja


Ceeeetaaaarr……………
Suara yang memecah keheningan malam kala itu, suara-suara seperti itu sudah sering terdengar dari rumah minimalis milik keluarga Tio. Keributan-keributan besar ataupun kecil ini sudah sering terjadi dan akhir-akhir ini keributan itu semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba Ari, anak kedua mereka terbangun.
“kak awan, bangun kak aku takut” rengek Ari. Dengan malas Awan menjawab “kenapa toh dek ?”
“Itu loh kak ada bunyi-bunyi gelas pecah”
Saat itu baru pertama kali Ari dan Awan melihat Ibu dan Ayah nya bertengkar sebesar itu, karena biasanya keributan diantara mereka selalu terjadi dimalam hari dan tidak membangun kan anak-anak mereka. Ari dan Awan pun semakin ketakutan karena Ibu dan Ayah nya saling berteriak satu sama lain. Akhirnya mereka menyadari bahwa anak-anak mereka terbangun, keadaan langsung berbalik menjadi membaik dan mereka mengatakan itu hanya berpura-pura lalu mereka berdua mengajak anak-anak untuk tidur.
Keributan seperti ini sering terjadi dikarenakan Tio yang hanya seorang yang memiliki salon kecil dan memang memiliki tingkah yang bisa dikatakan gemulai ini dianggap Rani tidak bisa mencukupi kebutuhan kosmetiknya dan tidak bisa membuatnya bahagia lagi. Padahal salon kecil milik Tio saat itu sangat tenar dan maju, tetapi Rani masih tidak puas dengan itu.
Setiap harinya Rani selalu pergi di pagi atau siang hari dan pulang di malam hari yang arah peginya tidak diketahui oleh Tio karena Rani tidak pernah sedikitpun meminta izin kepada Tio. Untung saja Tio memiliki anak-anak yang mandiri yang bisa ditinggal seharian tanpa sedikitpun merengek kepada Ayah atau Ibu nya. Setiap harinya sebelum Rani pergi, ia menyempatkan diri membeli sayur matang untuk anak-anaknya. Untuk sekolah pun anak mereka tidak diantar jemput, mereka berdua jalan kaki sejauh 250 meter untuk menuju sekolahnya.
“kak enak yaa mereka diantar jemput sama ibu ayahnya, kapan kita bisa diantar kak ?”
“udah lah dek ayah sama ibu kan pada sibuk, toh kita kan bisa jalan sendiri” namun didalam relung hati Awan saat itu juga merasa ingin sekali di antar oleh ayah dan ibu nya karena saat itu mereka masih masing-masing berumur 9 tahun dan 7 tahun.
Sepulangnya dirumah dua beradik itu selalu mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci piring, menyapu dll. Sedang asyik-asyikny mereka berdua belajar mereka dikagetkan oleh kegaduhan didepan rumahnya yang ternyata ayah nya diantar pulang oleh beberapa orang karena jatuh pingsan di salonnya.
Saat itu Awan dan Ari sangat bingung dan mereka menelpon ibunya.
“ibu sedang sibuk nak, ayah kamu pasti bisa merawat dirinya sendiri” lalu telpon pun ditutup oleh Rani.
Awan dan Ari lemas mendengar kata-kata itu karena mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan untuk merawat ayahnya. Tidak lama Ayahnya pun mulai sadar dan langsung memeluk anaknya.
“kalian menelpon ibu yaa nak ?”
“iya yah, tapi katanya ibu lagi sibuk dan ayah bisa ngurusin ini sendiri”. Mendengar kata itu Tio hanya bisa tersenyum pahit.
Tio memang sudah lama merasakan sakit ini namun baru hari ini ia merasakan yang separah itu sampai-sampai ia diantar oleh tetangganya pulang. Sangat beruntung Tio saat itu karena ia memiliki anak-anak yang hebat, karena anak-anaknya lah yang menyuapi ia saat itu, menggandeng ia kekamar mandi dan menyiapkan air hangat untuk ia mandi. Ia saat itu sangat terharu melihat kehebatan anaknya yang diumur sekecil itu dapat merawat ayahnya yang sakit.
“yah kenapa kok mukanya murung ?” Awan berkata, lalu disambar oleh Ari “kami salah ya yah ? maaf ya ayah, ayah mau apa biar kami lakukan”
Sontak itu membuat Tio sangat terharu dan menitikkan air mata, dan memeluk anak-anaknya. “kalian gak salah nak, ya udah kalian tidur aja ya udah malem ntar kalian kesiangan sekolahnya”. Lalu Ari dan Awan pun menuruti kata-kata Ayahnya.
Dengan keadaan Tio yang sakit itu, ia masih menyempatkan diri untuk menunggu istrinya pulang. Tepat jam 10 malam Rani pulang dengan diantar temannya memakai mobil BMW.
“Capek bu ? darimana ? maaf ga bisa nyiapin air hangat buat mandi”
“ya capek lah, gak perlu tau darimana aku ya yang penting aku pulang” dengan menghiraukan keadaan Tio yang sakit.
Sampai beberapa hari Tio tidak pergi ke salonnya, karena ia tidak kuat untuk berjalan jauh.
Hari minggu anak-anak diajak oleh Rani untuk jalan-jalan. “bu kok ayah nggak di ajak ? kapan kita bisa jalan-jalan berempat ?” pungkas Awan dan Ari. Pertanyaan mereka pun diabaikan oleh Rani.
Ketika didepan lorong ternyata sudah ada mobil BMW yang menunggu mereka, Awan dan Ari pun dipaksa masuk oleh Rani. Ditengah perjalanan Rani tiba-tiba kaget karena melihat Tio sedang menyebrang jalan, saat itu Tio ingin membeli obat untuknya dan BMW yang dinaiki tersebut tidak meiliki riben, lalu Rani pun langsung merundukkan kepala nya kebawah dan menarik anak-anaknya untuk merundukkan kepalanya. Padahal Tio sudah melihat keberadaan Rani dan anak-anak didalam mobil itu.
Setibanya dirumah, Tio tidak menanyakan hal itu kepada Rani. Namun pada malam hari terjadi lagi keributan antara Tio dan Rani. Kali ini keributan sangat-sangat besar.
“bu ngaku aja kalo emang itu pacar kamu, ayah rela bu kalo ibu mau ninggalin ayah” dengan suara lembut
“wajar kan kalo aku nyari lelaki lain, karena kamu itu sedikitpun nggak nyukupin kebutuhan aku !” bentak Rani.
“ ya udah bu kalau emang kayak itu, yang pastinya jangan pisahin aku dengan anak-anak. Aku nggak bakal sanggup pisah dengan anak-anak, mereka juga kasihan kalau selalu kamu tinggal nantinya”
Keesokan hari Rani tidak seperti biasanya yang sebelum pergi meninggalkan sayur beliannya di warung nasi, hari itu Tio masih dalam keadaan sakit. Rani pergi tanpa sepengetahuan anaknya dan tidak berpamitan kepada Tio juga dengan membawa Koper yang sudah disiapkan dari malam. Dan ternyata ia pergi ke luar kota dengan lelaki selingkuhannya.
Sudah dua hari Rani meninggalkan rumah dan anak-anaknya pun setiap waktu menanyakan kemana perginya ibu mereka, Tio hanya menjawab Ibu sedang ada kerjaan nak. Dan kesehatan Tio sudah semakin memburuk.
Tiba-tiba Rani kaget melihat ada secarik kertas di koper miliknya.
Sayang, aku tau saat ini aku hanyalah bagaikan Gunting yang sudah tumpul, Yang tidak dapat memenuhi kebutuhan lagi
Aku juga sadar aku hanyalah radio yang usang, Yang tidak dapat didengar lagi
Aku juga menyadari, aku ini hanyalah hama, yang selalu membuat hidupmu susah dan tak bahagia
Aku juga adalah payung usang ,yang tidak dapat melindungimu lagi dari teriknya mentari dan terpaan hujan
Namun aku sebisa mungkin selalu ingin menjadi Ksatria yang tangguh yang dapat melindungimu dikala kau butuh pertolongan, dapat melengakapi kebutuhanmu, dapat menjadi tumpuan hidupmu  dan anak-anak kita.
Tapi ternyata itu tidak dapat kau lakukan karena aku ini yahhh… hanyalah orang yang usang dan lemah.
Aku sangat berharap keluarga kecil kita bisa menjadi keluarga yang harmonis, menikmati hari libur bersama-sama berempat, makan malam bersama setiap harinya, mendampingi mereka dikala mereka meraih prestasi, dan bisa bersama-sama melihat anak-anak kita sukses. Namun melodi rintihan hati ini tidak pernah kau hiraukan, untuk mendengarkan sedetik saja pun kau sudah tidak mau.
Pesan ku jikalau aku sudah tidak bisa mendampingi anak-anak kita
Jagalah dan rawatlah mereka, ajaklah mereka ke jalan yang benar jangan sekali-kali kau menghiraukan permintaannya. Mereka adalah anak-anak yang cerdas maka dari itu bimbinglah mereka sebaik-baiknya aku yakin mereka bisa sukses meraih mimpi-mimpi mereka bersamamu…
Aku ingin sekali kau tahu bahwa aku sangat sangat mencintaimu, rasa ini tidak akan pernah berubah dari pertama kali aku melihatmu, sayangg… dan jangan pernah merasa bersalah karena aku sudah memaafkan semua perbuatanmu, tidak ada sedikitpun dendam dihatiku padamu karena aku mencintaimu sayang…
Rani pun menitikkan air mata tiba-tiba, Kriiing… kriiiing… Suara Handphone Rani berbunyi yang membuat Rani kaget.
Di ujung telepon sana ternyata Awan dengan isak tangis menelepon Ibunya yang mengabarkan bahwa ayahnya meninggal dunia diperjalanan menuju rumah sakit. Rani pun langsung buru-buru mengajak pulang selingkuhannya tersebut dengan tidak menjelaskan apa-apa, diperjalanan pulang Rani beruraian air mata, ia baru menyadari betapa bodohnya dirinya yang telah mengabaikan keluarga kecilnya dan suaminya yang sangat mencintainya.
Keadaan dikediaman Tio pun sudah sangat ramai dan keramaian itu pun tiba-tiba hening ketika Rani tiba dan ia langsung memeluk erat suaminya yang sudah tidak bernyawa lagi, lalu ia memeluk erat-erat anaknya dan berkata “naaak maafkan ibumu yang bodoh ini nak, ibu sangat menyesal”.
Dengan tingkah polosnya Ari dan Awan mengusap air mata ibu nya sembari berkata “Bu jangan nagis terus, tadi ayah bilang kita nggak boleh nangis kalau ayah nanti tidur buat selamanya”
Perkataan anak-anaknya itu membuat Rani semakin dirundung rasa penyesalan dan ia semakin mengeratkan pelukan ke anak-anaknya tersebut
Sampai dikebumikan Tio, isak tangis itu tidak henti-hentinya karena ia sangat menyesali perbuatannya yang tidak pernah menghiraukan keluarga kecilnya itu. Rani berjanji akan memperhatikan anak-anaknya dan membimbing anaknya ke jalan yang benar.

Tidak ada komentar: